Pensyariatan Qurban
Ibadah qurban merupakan bentuk ketundukan seorang hamba kepada rab-nya yang sarat akan nilai-nilai pendidikan keikhlasan dalam beramal demi menggapai ridha dan cinta Allah SWT. Selain itu, berqurban juga menjadi sarana bagi seseorang untuk memanfaatkan rezeki yang telah diberikan Allah SWT sebagai investasi amal di akhirat kelak. Secara esensial, qurban ditujukan kepada umat Islam yang telah mukallaf, yaitu mereka yang memenuhi kriteria untuk menerima beban hukum syariat, seperti berakal sehat, telah baligh, dalam keadaan sadar, serta memiliki kemampuan secara finansial. Fiqih Qurban
Qurban sendiri diistilahkan dengan Al-Udhiyyah, Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan bahwa secara bahasa, Al-Udhiyyah merujuk pada sesuatu yang dijadikan pengurbanan, yakni berupa hewan yang disembelih pada hari Idul adha. Dengan demikian, Al-Udhiyyah berarti hewan sembelihan yang dikurbankan pada hari tersebut, yaitu penyembelihan hewan yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan dilakukan pada hari Nahr, baik oleh orang yang sedang berhaji maupun yang tidak, dengan jenis hewan yang disembelih seperti unta, sapi, kerbau, dan kambing.
Pensyariatan Ibadah qurban sendiri dapat ditelusuri dari nash al-Qur’an, hadist maupun ijma. Adapun pensyariatan dalam al-Qur’an seperti halnya disebutkan dalam surat al-Kautsar ayat 1-3 yang artinya “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang- orang yang membenci kamu Dialah yang terputus.”
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Sanya Allah SWT telah memberimu kebaikan yang banyak di dunia dan di akhirat. Adapun Ibnu Abbas, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan diksi Nahr dalam ayat tersebut adalah qurban fisik dan yang semisalnya. Yang mengegaskan perbedaan yang berlangsung dikalangan orang musyrik yang sujud pada selain Allah dan melakukan penyembelihan binatang untuk selain Allah. Sayyid Sabiq dalam Fiqih sunnahnya menngemukakan bahwa Perkataan yang paling masyhur perihal maksud dengan kata Shalat pada ayat tersebut dalah shalat hari raya dan kata Nahr adalah qurban.
Pensyariatan qurban juga bisa ditemukan pada beberapa Rasulullah SAW diantarnya, hadits yang bersumber dari Aisyah ra,
“Menceritakan kepada kami Abu ‘Amrin dan Salim bin ‘Amri dan ibnu Muslim al- Hazza’ al-Madani, menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Nafi’ al-Shaigh Abu Muhammad, dari Abi al-Mutsanna, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
Artinya: Tidak ada satu amalan anak Adam pada hari nahr (hari raya al-Adha), yang lebih disukai oleh Allah, selain menumpahkan darah (binatang yang diqurbankan). Sesungguhnya ia pada hari kiamat akan datang dengan tanduknya, bulunya dan kukunya. Sesungguhnya darah binatang qurban itu sebelum jatuh ke atas bumi, telah jatuh disuatu tempat (yang disediakan Allah), sebab itu senangkanlah dirimu dengan berqurban”. (HR. Tirmizi).
Atas dasar dalil-dalil nash tersebut dikalangan para ulama mujtahid dan cendekiawan muslim telah menyepakati bahwasanya ibadah qurban telah disyari’atkan dalam Islam dan tidak ada satu dalil atau sunnah yang menyangkalnya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab al-Fiqh ala Mazahib al- Arba’ah, bahwa sanya orang-orang muslim telah sepakat tentang disyari’atkannya qurban, yang ditunjukkan pada hadits bahwasanya Allah mencintai pekerjaan yang dilakukan pada hari Nahr.
- Hukum Berqurban
Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa tidak terdapat persilangan pendapat diantara para ulama dan cendikiawan muslim tentang pensyariatan ibadah qurban ini, hanya saja terdapat perbedaan dalam penetapan hukum pelaksanaan qurban Seperti halnya Mazhab Hanafi telah menghukumi wajib atas pelaksanaan ibadah ini baik bagi penduduk yang menetap maupun bagi musafir. Penghukuman wajib oleh kalangan mazhab ini dengan menyandarkan pada firman Allah dalam surat al-Kautsar ayat ke-2, teks ayat tersebut menjelaskan bahwa perintah berqurban itu disampaikan oleh Allah dalam bentuk sighat Amr (perintah). berdasarkan kaedah Ushul Fiqih bahwa setiap sighat Amr menunjukkan pada pengertian wajib. Bila ibadah qurban itu diwajibkan kepada nabi Muhammad SAW, Ibadah tersebut diwajibkan pula pada semua umatnya yang beragama Islam.
Perlu difahami bahwa pengistilahan wajib yang dimaksud oleh Imam Abu Hanifah adalah kedudukannya lebih rendah dari yang fardu, dan lebih tinggi dari pada sunnah. Karena hukumnya wajib, maka berdosalah orang yang meninggalkannya, jika ia tergolong orang yang kaya bedagai mana dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi dalam fatwa-fatwa kontemporer. Demikin halnya dalam redaksi lain dikemukakan bahwa makna wajib yang dimaksud adalah sunnah ‘ain atau muakkad yang berimplikasi tidak akan di azab orang yang meninggalkannya dengan api neraka, sebagaimana dikemukakan Abdurrahman Al-Jaziri, dalam fiqih ‘ala Madzahib Arba’ah,
Adapun menurut kalangan Syafiiyah, hukum melaksanakan ibadah qurban adalah sunah ‘ain bagi setiap individu, dan sunah muakkad (sunah yang sangat dianjurkan) bagi anggota keluarganya. Dalam kitab al-Umm dijelaskan bahwa berqurban memiliki hukum sunah yang sebaiknya tidak ditinggalkan. Sedangkan Syaikh Nawawi dalam Minhajut Thalibin Wa’umdatil Muftin juga berpendapat bahwa qurban hukumnya sunah sebagaimana pandangan Imam Malik dan Ahmad bin Hambal, yang menyatakan bahwa qurban termasuk dalam kategori sunah muakkad. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm, dan lainnya, yang menyatakan bahwa qurban merupakan sunah muakkadah, yakni amalan sunah yang sangat dianjurkan pelaksanaannya.
Baca Juga : Keutamaan Amal di Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
Syarat Qurban
Dalam pelaksanaan ibadah qurban, terdapat beberapa hal penting yang perlu dipahami, salah satunya adalah mengenai syarat-syarat qurban. Syarat-syarat ini mencakup ketentuan bagi orang yang berqurban maupun hewan yang akan dijadikan qurban.
Syarat Bagi yang Berqurban (Mudhohi)
- Muslim; yaitu seseorang beragama Islam, karena ibadah Qurban merupakan perintah Allah bagi umat Islam untuk mengikuti sunnah Rasul.
- Merdeka; yaitu yang bukan budak atau orang yang terikat pada perjanjian seseorang.
- Mukallaf; yaitu orang yang baligh dan berakal dan
- Mampu; yaitu mereka yang memiliki kelebihan harta setelah memenuhi kebutuhan pokoknya (termasuk di dalam kebutuhan pokok adalah membayar hutang) selama hari Idul Adha dan Ayyamut Tasrik
Syarat Binatang Qurban
- Hewan yang digunakan untuk qurban harus berasal dari jenis hewan ternak, yaitu unta, sapi, domba atau kambing. Mayoritas ulama, kecuali Imam Malik, sepakat bahwa urutan keutamaan hewan qurban dimulai dari unta, lalu sapi, dan terakhir kambing. Pandangan ini juga didukung oleh Imam Nawawi. Namun, menurut mazhab Maliki, hewan qurban yang paling utama adalah domba, kemudian sapi dan unta, dengan pertimbangan kualitas serta cita rasa dagingnya. Dalam hal ini Imam Syafi’i menjelaskan bahwa unta dan sapi dapat dijadikan qurban atas nama tujuh orang, sedangkan kambing hanya untuk satu orang.
- Telah mencapai usia Jadza’ah dari Kambing, Domba, Biri-biri yaitu sudah genap berumur satu tahun atau menjadi Jadza’ah sebelum itu yaikni apabila giginya sudah terlepas, dan usia Tsaniyah jika dari lainnya seperti Ats-Tsani dari jenis kambing kacang kambing yang sudah genap berumur dua tahun dan memasuki umur tiga tahun. Ats-Tsani dari unta adalah unta yang sudah genap berumur lima tahun dan memasuki umur enam tahun. Sedangkan Ats-Tsani dari sapi adalah sapi yang sudah genap berumur dua tahun dan memasuki umur tiga tahun. (Imam Nawawi dalam Raudhatut Thalibin)
- Tidak Cacat; terdapat empat macam cacat yang menghalangi seekor binatang untuk diqurbankan yaitu, picek (buta sebelah) yang jelas piceknya, salah satu matanya tenggelam atau buta, atau menonjol seperti kancing, atau terkena warna putih (Jamur), yang menunjukkan kebutaannya secara jelas. Sakit dengan jelas, yaitu sakit yang dideritanya begitu tampak, atau kurap/kudis yang kelihatan jelas yang mempengaruhi daging atau kesehatannya, juga luka parah yang mempengaruhi kesehatannya. Pincang dengan jelas sehingga menjadikannya tidak dapat berjalan dengan normal.
Syarat Penyembelih Binatang Qurban
- Yang menyembelih harus muslim.
- Yang menyembelih harus berakal dan Mumayyiz. Bukan Orang gila, mabuk, anak kecil yang belum Mumayyiz, atau orang yang sangat tua yang telah pikun.
- Menyengaja (niat) menyembelih. Tadzkiyah (penyembelihan) merupakan perbuatan khusus yang menghajatkan niat, karena jika tidak disertai niat menyembelih sembelihan itu tidak halal. Jika diwakilkan dalam penyembelihan Qurban, hendaklah berniat ketika menyerahkan hak wakil tersebut, atau boleh menyampaikannya ketika proses penyembelihan.
- Menyembelih hanya untuk Allah. Jika untuk selain Allah tidak halal.
- Menyebut nama Allah ketika menyembelih dengan membaca Bismillah
- Penyembelihan harus menggunakan benda tajam yang dapat mengalirkan darah. seperti pisau atau besi atau batu yang tajam. Tidak dibenarkan menyembelih dengan mempergunakan gigi atau kuku.
Pemanfaatan Daging Qurban
Seseorang yang berqurban diperbolehkan untuk memanfaatkan daging hewan sembelihan qurbannya, baik dengan mengonsumsi sebagian dagingnya maupun memberikan sebagian lainnya kepada orang lain. Terkait pembagian daging qurban, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para imam mazhab. Misalnya, Mazhab Hanafi menyarankan agar daging qurban dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk dikonsumsi oleh orang yang berqurban, sepertiga diberikan sebagai hadiah kepada kerabat atau sahabat dekat meskipun mereka tergolong mampu, dan sepertiga sisanya disedekahkan kepada orang-orang miskin.
Mazhab Maliki memiliki pandangan yang berbeda, yaitu bahwa daging qurban tidak harus dibagi-bagikan. Mereka berpendapat bahwa hadits-hadits yang menyebutkan pembagian daging qurban bersifat umum dan memerlukan penjelasan lebih lanjut. Dalam pandangan mereka, Rasulullah SAW tidak melarang untuk memakan dan menyimpan seluruh daging qurban tanpa membagikannya kepada orang lain. Awalnya, penyimpanan daging qurban dibatasi tidak lebih dari tiga hari karena banyaknya kaum fakir dan musafir yang datang ke Makkah dan kekurangan makanan. Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan penduduk Makkah saat itu untuk menyedekahkan sebagian daging qurban kepada mereka. Namun, pada tahun berikutnya, Rasulullah memperbolehkan penyimpanan daging qurban melebihi tiga hari karena jumlah orang miskin telah berkurang. Larangan menyimpan daging qurban pada awalnya dimaksudkan agar kebutuhan kaum miskin dari pedalaman sekitar Makkah atau Madinah terpenuhi. Setelah kondisi tersebut tidak lagi relevan, maka larangan tersebut pun dicabut oleh Rasulullah SAW
Adapun dalam Mazhab Syafi’i, disyariatkan untuk memberikan sebagian daging qurban, meskipun sedikit kepada fakir miskin sebagai kewajiban. Sisa dari daging tersebut boleh diberikan kepada kerabat dan orang-orang terdekat, baik yang kurang mampu maupun yang berada. Adapun bagi orang yang berqurban, disunahkan untuk memakan sebagian kecil dari daging tersebut, sekadar satu suapan.
Wallahua’lam
(al-faqir Dr. H. Faizal Pikri)
Reference
Abd al-Rahman al-Jaziry. Al-Fiqh ’ala Mazahib Al-Arba’ah. Juz I. Beirut: Darl al-Fikr, n.d.
Abu Zakaria Yahya Muhyiddin An-Nawawi. Minhajut Thalibin Wa’umdatil Muftin. Beirut: Darl al-Fikr, 2010.
Al-Haitami, Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad bin ’Ali bin Hajar al-Makki. Fatawa Qubra Al- Fiqiyah ’Ala Mazhab Imam Al-Syafi’i. Beirut: Darll al Kutub al-’Ilmiyyah, 1997.
Ibn Rusyd. Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid. Indonesia: Darl al-Ihya’ al- Kutub al- ’Arabiyah, n.d.
Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Juz:2. Beirut: Darl al- Fikr, n.d.
Imam Abi Abdillah ibn Idris al-Syafi’i. Al-’Umm. Beirut: Darll al Kutub al-’Ilmiyyah, 1993.
Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram al-Ansari Ibn Manzur. Lisan Al-Arabi. Kairo: Darl al-Ma’arif, n.d.
Sayyid Sabiq. Fiqih Al-Sunnah. Jilid III. Beirut: Darl al-Fikr, n.d.
Wahbah Al-Zuhaili. Al Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuhu. Edited by juz IV. Beirut: Darl al- Fikr, 1989.